Maulid Nabi Muhammad SAW
Majlis Ta'lim Al-Ghoniyah
Saturday, March 9, 2013
Saturday, February 16, 2013
Sejarah Al-Quran ( Majlis ta'lim al-Ghoniyah )
Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.Penurunan Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara
berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama
membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
“ | Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." | ” |
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
- Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
- An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
- Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
- The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
- The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
- Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
- Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
- Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
- Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
- Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
- Al-Amin (bahasa Sunda)
- Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)
Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.Adab terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.[3]Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.- Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [4]Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[5]
Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil,
lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan
posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan
Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai
hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
- Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
- Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
- Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
- Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
Referensi
- ^ Al-A'zami, M.M., (2005), Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.), Jakarta: Gema Insani Press, ISBN 979-561-937-3.
- ^ Rahman, A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung: Penerbit Mizania, ISBN 979-8394-43-7
- ^ www.almanhaj.or.id Hukum Menyentuh Atau Memegang Al-Qur'an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan Nifas (diakses pada 8 Juli 2010)
- ^ Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih.
- ^ Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Daftar kepustakaan
- Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
- Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
- Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
- Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
- Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
- ------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
- Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
- al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
- al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
- Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
- al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
- al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
- ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
- ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
- Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
- -----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
- Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.
Al-Qur'an ( Majlis Ta'lim Al-Ghoniyah )
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.
Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:- “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18).
Terminologi
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Nama-nama lain Al-Qur'an
- Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
- Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
- Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
- Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
- Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
- Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
- Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
- Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
- At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
- Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
- Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
- Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
- Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
- Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
- An-Nur (cahaya): QS(4:174)
- Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
- Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
- Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
Friday, February 15, 2013
Majlis Ta'lim Al-Ghoniyah
Majlis Ta'lim Al - Ghoniyah
Jl. Cipinang Jaya Blok AA Rt010/008 No.8
Kampung Besar Jatinegara Jakarta Timur
Telp. 083879595743
Jl. Cipinang Jaya Blok AA Rt010/008 No.8
Kampung Besar Jatinegara Jakarta Timur
Telp. 083879595743
Guru KH. Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad Al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman Al-Batawi.
BIOGRAFI
Guru KH.Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad Al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman Al-Batawi.
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)
Salah satu ulama Betawi terkemuka di abad ke-19 adalah Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad Al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman Al-Batawi. Atau lebih dikenal dengan nama Guru Marzuki dari Klender yang dilahirkan tahun 1876 dan meninggal pada tahun 1934. Ayah Guru Marzuki adalah Syekh Ahmad Al-Mirshad, keturunan keempat Kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang hijrah ke Batavia. Beliau adalah ulama Betawi generasi kelima setelah Syekh Ahmad Junaidi Al-Batawi (pernah menjadi imam di Masjidil Haram), Guru Mujtaba, Guru Manshur dan Habib Utsman bin Yahya. Bersamaan dengan Guru Marzuki di masa yang sama, terkenal juga lima ulama lainnya yaitu KH Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, KH Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, KH Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, KH Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam dan KH Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan. Seperti ulama terkemuka masa itu, Guru Marzuki pun sempat hijrah ke Makkah di usia 16 tahun. Selain melaksanakan ibadah haji, ia juga menimba ilmu agama selama tujuh tahun di sana. Selama masa belajarnya di Makkah ia menerima pembelajaran tentang Islam melalui pengajian halaqah di masjid-masjid. Namun saat kembali ke Tanah Air, Guru Marzuki membuat terobosan dengan melakukan metode belajar yang berbeda dengan pengalamannya di Tanah Suci. Dan berbeda pula dibandingkan metode belajar yang dikembangkan para ulama Betawi kala itu yang lebih memilih halaqah atau majelis taklim sesuai pengalaman mereka. Guru Marzuki mendirikan sebuah pondok pesantren yang umum dilakukan para ulama Jawa. Sempat mengajar di Masjid Rawabangke selama lima tahun sesuai permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki hijrah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia mendirikan pesantren setingkat Aliyah. Sekitar 50 orang santri mondok dan belajar di sini. Seluruh santri datang dari wilayah Jakarta dan Bekasi, terutama Jakarta bagian utara dan timur. Dikisahkan dalam laman www.alkisah.web.id, Guru Marzuki lebih memilih metode pembelajaran di luar kelas, yaitu beratapkan langit dan berlantaikan tanah dan rerumputan. Dalam menyelami pelajaran agama secara bersamaan para santri juga didekatkan pada alam. Guru Marzuki mengajarkan santrinya sambil berjalan di kebun miliknya yang cukup luas. Dan sambil belajar santri juga diajak berburu bajing atau tupai. Kemana sang guru melangkah para murid mengikutinya dalam susunan berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas empat atau lima orang mempelajari kitab sejenis. Di mana setiap kelompok terdapat juru baca yang bertugas membaca bagian kitab yang dipelajari. Setelah juru baca selesai membaca, sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setelah satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang mempelajari kitab lain menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya. Begitu seterusnya hingga seluruh kelompok mendapatkan giliran untuk mempelajari pegangan kitab masing-masing. Namun, sesekali Guru Marzuki juga mengajar sambil duduk di dalam masjid. Ini ia lakukan hanya jika mengajar untuk khalayak umum. Di sela pengajaran untuk umum, Guru Marzuki juga mendaulat santrinya satu per satu untuk membaca isi kitab yang sedang dibahas. Kemudian sang guru memberi penjelasan atas bacaan santri-santrinya itu. Meski begitu, metode pengajaran Islam yang dikenalkan oleh Guru Marzuki di tanah Batavia ini belum begitu diterima. Masyarakat Batavia di masa itu lebih cocok dengan metode halaqah di masjid. Di mana mereka bisa mengatur waktu untuk menghadiri halaqah dan pembahasannya yang lebih umum dan dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pondok pesantren pertama di Batavia ini pun tutup setelah Guru Marzuki meninggal. Ahmad Marzuki Al-Batawi dan juga kelima ulama terkemuka yang sama-sama berkarya akhir abad 19 dan awal abad 20 berhasil menyebarluaskan ajaran Islam dan juga meningkatkan intelektualitas di seluruh penjuru tanah Batavia. Begitu juga mendidik ulama-ulama terkemuka yang meneruskan ajaran-ajaran gurunya. Para juru baca di kelompok santri pesantren kemudian menjadi ulama terpandang di masyarakat Betawi. Sebagian dari mereka meneruskan metode ajar Guru Marzuki dengan mendirikan pondok pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam yang masih bisa ditemui saat ini. Para santri itu di antaranya KH Noer Alie (pendiri Pesantren At-Taqwa, Bekasi), KH Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH Abdul Malik (putra Guru Marzuki), KH Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), dan KH Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyah, Jatiwaringin). Selain itu, ada pula KH Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan Ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH Mursyidi dan KH Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam Al-Falah, Klender). Selain Guru Malik, putra-putra Guru Marzuki lainnya mengikuti jejak ayahnya menjadi ulama. Yaitu KH Moh Baqir (Rawabangke), KH Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi) dan KH Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi). Salah satu santrinya, KH Noer Ali, selain dikenal pandai dalam hal agama juga menjadi seorang politikus. Kepada Noer Ali sebelum berlayar menuju Makkah, Guru Marzuki berpesan agar tak lupa untuk juga belajar pada Syekh Al-Maliki. Noer Ali mendapatkan ilmu hadis dari Syeikh Al-Maliki. Ajaran Guru Marzuki sendiri dikenal kental dengan mazhab Syafi'i. Guru Marzuki beserta lima ulama terkemuka Betawi yang disebut sebagai ''Enam Pendekar Betawi'' berhasil memperkuat dan memperluas ajaran Islam. Yang kelak meneruskan tradisi ulama terkemuka Betawi yang diakui masyarakat. Guru Marzuki yang menjadi guru para ulama Betawi memiliki garis keturunan Madura. Ia memiliki ibu yang berasal dari Madura bernama Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura. Ibunya berasal dari keturunan Ishaq yang makamnya berada di Kota Gresik, Jawa Timur. Tiga tahun setelah ayahnya meninggal yaitu pada usia 12 tahun, Marzuki kecil menimba ilmu fikih termasuk memperdalam Alquran dan ilmu dasar bahasa Arab dari seorang ahli fikih bernama Haji Anwar. Ia pun berpisah dari sang ibu. Perjalanan pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab klasik yang dibimbing oleh ulama Betawi bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Menginjak usia 16 tahun, seiring bertambahnya keingintahuan tentang ilmu Islam, Guru Marzuki pun menunaikan ibadah haji dan menetap di Makkah selama tujuh tahun. Di Tanah Suci inilah, pengetahuan Guru Marzuki semakin luas. Ia belajar dan dibimbing oleh ulama-ulama Haramain untuk mendalami berbagai cabang ilmu Islam. Di antaranya Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan Al-Madani, Syekh Umar Bajunaid Al-Hadhrami, dan Syekh Abdul Karim Al-Daghistani. Selain itu, ia juga dibimbing oleh Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bogori, Syekh Ahmad Al-Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Umar Al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh Al-Termasi, Syekh Sa’id Al-Yamani, Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta Al-Bakri Al-Dimyathi dan Syekh Muhammad Ali Al-Maliki. Ilmu yang dipelajari meliputi nahwu, sharaf, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh hingga ilmu falak (astronomi). Bahkan dalam bidang tasawuf, Guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Al-Alawiyah dari Syekh Umar Syatta Al-Bakri Al-Dimyathi. Kepiawaiannya dalam berbagai cabang ilmu Islam ini mengukuhkan Guru Marzuki sebagai guru para ulama Betawi masa itu. Ia pun mendapatkan gelar dari seorang sultan tanah Melayu di negeri Pattani, Thailand Selatan, dengan nama Laksmana Malayang.
Wafatnya
Guru KH. Ahmad Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .
Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.
Sumber : Keterangan keluarga keturunan Guru Marzuki sampe leluhur beliau ke 5 & Buku Ahlul Bayt (keluarga) Rasulullah SAW & Kesultanan Melayu karya : (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman & Hj Muzafaffar Dato Hj Mohammad.. Guru Marzuki / al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M) BIN
1. Syekh Ahmad al-Mirshad BIN
2. Hasnum BIN
3. Khatib Sa’ad BIN
4. Abdul Rahman al-Batawi BIN
5. Sultan Ahmad Fatani @Sri Malayang @ Laksmana Malayang @ Sultan Muhammad (1774-1785) @ Long Muhammad Raja Pattani merdeka terakhir BIN
6. Raja Bakar, Raja Patani (1771-1774) BIN
7. Long Nuh, Raja Patani (1749-1771) BIN
8. Long Nik Datu Pujud, Patani BIN
9. Wan Daim (Ba Tranh) Raja Champa terakhir dinasti ahlul bayt di Kamboja 1686-1692 BIN
10. Nik Ibrahim (Po Nrop) Raja Champa 1637-1684 BIN
11. Nik Mustafa (Po Rome) Raja Champa 1578-1637 BIN
12. Wan Abul Muzaffar (Saudara Sunan Gunung Jati Azmatkhan satu ayah beda ibu) BIN
13. Sayyid Abdullah @ Wan Bo BIN
14. Sayyid Ali Nurul Alam BIN
15. Sayyid Husein Jamaluddin Akbar BIN
16. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin BIN
17. Sayyid Abdullah AZMATKHAN BIN
18. Sayyid Abdul Malik AZMATKHAN BIN
19. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih BIN
20. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath BIN
21. Sayyid Ali Khali Qasam BIN
22. Sayyid Alwi BIN
23. Sayyid Muhammad BIN
24. Sayyid Alwi (Pemukan Asyraf fam. Ba’alawy) BIN
25. Sayyid Ubaidillah BIN
26. Imam Ahmad al-Muhajir BIN
27. Imam Isa Al-Rumi, Al-Bashri BIN
28. Sayyid Muhammad An-Naqib BIN
29. Sayyid Ali Al-Uraidh BIN
30. Imam Ja’far Shadiq BIN
31. Imam Muhammad Al-Baqir BIN
32. Imam Ali Zainal Abidin BIN
33. Imam Husein BIN
34. Sayyidina Ali ra, krw, as + Sayyidah Fathimah Az-Zahra ra, as BINTI
35. Sayyidina Nabi Muhammad SAW
Majlis Ta'lim Al - Ghoniyah
Jl. Cipinang Jaya Blok AA Rt010/008 No.8
Kampung Besar Jatinegara Jakarta Timur
Telp. 083879595743
Guru KH.Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad Al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman Al-Batawi.
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)
Salah satu ulama Betawi terkemuka di abad ke-19 adalah Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad Al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman Al-Batawi. Atau lebih dikenal dengan nama Guru Marzuki dari Klender yang dilahirkan tahun 1876 dan meninggal pada tahun 1934. Ayah Guru Marzuki adalah Syekh Ahmad Al-Mirshad, keturunan keempat Kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang hijrah ke Batavia. Beliau adalah ulama Betawi generasi kelima setelah Syekh Ahmad Junaidi Al-Batawi (pernah menjadi imam di Masjidil Haram), Guru Mujtaba, Guru Manshur dan Habib Utsman bin Yahya. Bersamaan dengan Guru Marzuki di masa yang sama, terkenal juga lima ulama lainnya yaitu KH Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, KH Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, KH Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, KH Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam dan KH Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan. Seperti ulama terkemuka masa itu, Guru Marzuki pun sempat hijrah ke Makkah di usia 16 tahun. Selain melaksanakan ibadah haji, ia juga menimba ilmu agama selama tujuh tahun di sana. Selama masa belajarnya di Makkah ia menerima pembelajaran tentang Islam melalui pengajian halaqah di masjid-masjid. Namun saat kembali ke Tanah Air, Guru Marzuki membuat terobosan dengan melakukan metode belajar yang berbeda dengan pengalamannya di Tanah Suci. Dan berbeda pula dibandingkan metode belajar yang dikembangkan para ulama Betawi kala itu yang lebih memilih halaqah atau majelis taklim sesuai pengalaman mereka. Guru Marzuki mendirikan sebuah pondok pesantren yang umum dilakukan para ulama Jawa. Sempat mengajar di Masjid Rawabangke selama lima tahun sesuai permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki hijrah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia mendirikan pesantren setingkat Aliyah. Sekitar 50 orang santri mondok dan belajar di sini. Seluruh santri datang dari wilayah Jakarta dan Bekasi, terutama Jakarta bagian utara dan timur. Dikisahkan dalam laman www.alkisah.web.id, Guru Marzuki lebih memilih metode pembelajaran di luar kelas, yaitu beratapkan langit dan berlantaikan tanah dan rerumputan. Dalam menyelami pelajaran agama secara bersamaan para santri juga didekatkan pada alam. Guru Marzuki mengajarkan santrinya sambil berjalan di kebun miliknya yang cukup luas. Dan sambil belajar santri juga diajak berburu bajing atau tupai. Kemana sang guru melangkah para murid mengikutinya dalam susunan berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas empat atau lima orang mempelajari kitab sejenis. Di mana setiap kelompok terdapat juru baca yang bertugas membaca bagian kitab yang dipelajari. Setelah juru baca selesai membaca, sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setelah satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang mempelajari kitab lain menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya. Begitu seterusnya hingga seluruh kelompok mendapatkan giliran untuk mempelajari pegangan kitab masing-masing. Namun, sesekali Guru Marzuki juga mengajar sambil duduk di dalam masjid. Ini ia lakukan hanya jika mengajar untuk khalayak umum. Di sela pengajaran untuk umum, Guru Marzuki juga mendaulat santrinya satu per satu untuk membaca isi kitab yang sedang dibahas. Kemudian sang guru memberi penjelasan atas bacaan santri-santrinya itu. Meski begitu, metode pengajaran Islam yang dikenalkan oleh Guru Marzuki di tanah Batavia ini belum begitu diterima. Masyarakat Batavia di masa itu lebih cocok dengan metode halaqah di masjid. Di mana mereka bisa mengatur waktu untuk menghadiri halaqah dan pembahasannya yang lebih umum dan dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pondok pesantren pertama di Batavia ini pun tutup setelah Guru Marzuki meninggal. Ahmad Marzuki Al-Batawi dan juga kelima ulama terkemuka yang sama-sama berkarya akhir abad 19 dan awal abad 20 berhasil menyebarluaskan ajaran Islam dan juga meningkatkan intelektualitas di seluruh penjuru tanah Batavia. Begitu juga mendidik ulama-ulama terkemuka yang meneruskan ajaran-ajaran gurunya. Para juru baca di kelompok santri pesantren kemudian menjadi ulama terpandang di masyarakat Betawi. Sebagian dari mereka meneruskan metode ajar Guru Marzuki dengan mendirikan pondok pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam yang masih bisa ditemui saat ini. Para santri itu di antaranya KH Noer Alie (pendiri Pesantren At-Taqwa, Bekasi), KH Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH Abdul Malik (putra Guru Marzuki), KH Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), dan KH Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyah, Jatiwaringin). Selain itu, ada pula KH Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan Ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH Mursyidi dan KH Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam Al-Falah, Klender). Selain Guru Malik, putra-putra Guru Marzuki lainnya mengikuti jejak ayahnya menjadi ulama. Yaitu KH Moh Baqir (Rawabangke), KH Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi) dan KH Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi). Salah satu santrinya, KH Noer Ali, selain dikenal pandai dalam hal agama juga menjadi seorang politikus. Kepada Noer Ali sebelum berlayar menuju Makkah, Guru Marzuki berpesan agar tak lupa untuk juga belajar pada Syekh Al-Maliki. Noer Ali mendapatkan ilmu hadis dari Syeikh Al-Maliki. Ajaran Guru Marzuki sendiri dikenal kental dengan mazhab Syafi'i. Guru Marzuki beserta lima ulama terkemuka Betawi yang disebut sebagai ''Enam Pendekar Betawi'' berhasil memperkuat dan memperluas ajaran Islam. Yang kelak meneruskan tradisi ulama terkemuka Betawi yang diakui masyarakat. Guru Marzuki yang menjadi guru para ulama Betawi memiliki garis keturunan Madura. Ia memiliki ibu yang berasal dari Madura bernama Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura. Ibunya berasal dari keturunan Ishaq yang makamnya berada di Kota Gresik, Jawa Timur. Tiga tahun setelah ayahnya meninggal yaitu pada usia 12 tahun, Marzuki kecil menimba ilmu fikih termasuk memperdalam Alquran dan ilmu dasar bahasa Arab dari seorang ahli fikih bernama Haji Anwar. Ia pun berpisah dari sang ibu. Perjalanan pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab klasik yang dibimbing oleh ulama Betawi bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Menginjak usia 16 tahun, seiring bertambahnya keingintahuan tentang ilmu Islam, Guru Marzuki pun menunaikan ibadah haji dan menetap di Makkah selama tujuh tahun. Di Tanah Suci inilah, pengetahuan Guru Marzuki semakin luas. Ia belajar dan dibimbing oleh ulama-ulama Haramain untuk mendalami berbagai cabang ilmu Islam. Di antaranya Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan Al-Madani, Syekh Umar Bajunaid Al-Hadhrami, dan Syekh Abdul Karim Al-Daghistani. Selain itu, ia juga dibimbing oleh Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bogori, Syekh Ahmad Al-Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Umar Al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh Al-Termasi, Syekh Sa’id Al-Yamani, Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta Al-Bakri Al-Dimyathi dan Syekh Muhammad Ali Al-Maliki. Ilmu yang dipelajari meliputi nahwu, sharaf, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh hingga ilmu falak (astronomi). Bahkan dalam bidang tasawuf, Guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Al-Alawiyah dari Syekh Umar Syatta Al-Bakri Al-Dimyathi. Kepiawaiannya dalam berbagai cabang ilmu Islam ini mengukuhkan Guru Marzuki sebagai guru para ulama Betawi masa itu. Ia pun mendapatkan gelar dari seorang sultan tanah Melayu di negeri Pattani, Thailand Selatan, dengan nama Laksmana Malayang.
Wafatnya
Guru KH. Ahmad Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .
Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.
Sumber : Keterangan keluarga keturunan Guru Marzuki sampe leluhur beliau ke 5 & Buku Ahlul Bayt (keluarga) Rasulullah SAW & Kesultanan Melayu karya : (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman & Hj Muzafaffar Dato Hj Mohammad.. Guru Marzuki / al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M) BIN
1. Syekh Ahmad al-Mirshad BIN
2. Hasnum BIN
3. Khatib Sa’ad BIN
4. Abdul Rahman al-Batawi BIN
5. Sultan Ahmad Fatani @Sri Malayang @ Laksmana Malayang @ Sultan Muhammad (1774-1785) @ Long Muhammad Raja Pattani merdeka terakhir BIN
6. Raja Bakar, Raja Patani (1771-1774) BIN
7. Long Nuh, Raja Patani (1749-1771) BIN
8. Long Nik Datu Pujud, Patani BIN
9. Wan Daim (Ba Tranh) Raja Champa terakhir dinasti ahlul bayt di Kamboja 1686-1692 BIN
10. Nik Ibrahim (Po Nrop) Raja Champa 1637-1684 BIN
11. Nik Mustafa (Po Rome) Raja Champa 1578-1637 BIN
12. Wan Abul Muzaffar (Saudara Sunan Gunung Jati Azmatkhan satu ayah beda ibu) BIN
13. Sayyid Abdullah @ Wan Bo BIN
14. Sayyid Ali Nurul Alam BIN
15. Sayyid Husein Jamaluddin Akbar BIN
16. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin BIN
17. Sayyid Abdullah AZMATKHAN BIN
18. Sayyid Abdul Malik AZMATKHAN BIN
19. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih BIN
20. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath BIN
21. Sayyid Ali Khali Qasam BIN
22. Sayyid Alwi BIN
23. Sayyid Muhammad BIN
24. Sayyid Alwi (Pemukan Asyraf fam. Ba’alawy) BIN
25. Sayyid Ubaidillah BIN
26. Imam Ahmad al-Muhajir BIN
27. Imam Isa Al-Rumi, Al-Bashri BIN
28. Sayyid Muhammad An-Naqib BIN
29. Sayyid Ali Al-Uraidh BIN
30. Imam Ja’far Shadiq BIN
31. Imam Muhammad Al-Baqir BIN
32. Imam Ali Zainal Abidin BIN
33. Imam Husein BIN
34. Sayyidina Ali ra, krw, as + Sayyidah Fathimah Az-Zahra ra, as BINTI
35. Sayyidina Nabi Muhammad SAW
Majlis Ta'lim Al - Ghoniyah
Jl. Cipinang Jaya Blok AA Rt010/008 No.8
Kampung Besar Jatinegara Jakarta Timur
Telp. 083879595743
Thursday, February 14, 2013
Majlis Ta'lim Al - Ghoniyah
Maulidur Rasul
Maulidur Rasul (Arab: kelahiran Rasul) adalah hari bersejarah keputeraan Nabi Muhammad.
Hari ini jatuh pada hari ke-12 bulan Rabiul Awal sempena kelahiran Nabi
yang jatuh pada pada Isnin (Dari hadith riwayat Muslim, 8/25), 12 Rabiul Awal Tahun Gajah bersamaan dengan 23 April 571. Baginda adalah nabi terakhir yang diutus oleh Allah Subhanahu Wataala. Tapak kelahiran baginda pula kini mempunyai satu bangunan kecil yang dikenali sebagai Maulid Nabi.
Setiap tahun pada hari itu, umat Islam
di seluruh dunia akan mengadakan majlis memperingati keputeraan Nabi
Muhammad s.a.w dengan mengadakan beberapa acara seperti perarakan,
ceramah dan sebagainya. Banyak kelebihan dan keistimewaan yang akan
dikurniakan oleh Allah Subhanahu Wataala kepada mereka yang dapat
mengadakan atau menghadiri majlis Maulidur Rasul.Kita dapat lihat betapa besarnya kelebihan orang yang memuliakan majlis keputeraan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, kerana bila berniat sahaja hendak mengadakan Maulud Nabi, sudah pun dikira mendapat pahala dan dimuliakan. Sememangnya bernazar untuk melakukan sesuatu yang baik merupakan doa dan dikira amal soleh.
Jelas kepada kita bahawa pembalasan Allah Subhanahu Wataala terhadap kebaikan begitu cepat sehinggakan terdetik sahaja di hati hendak berbuat kebaikan, sudah Allah SWT akan memberi pembalasan yang tiada ternilai. Seseorang yang beriman, kuat bersandar kepada Allah, ketika di dalam kesusahan dia tetap tenang dan hatinya hanya mengadu kepada Allah dan mengharapkan pertolongan dan kasih sayang Allah Subhanahu Wataala.
Keberkatan mengadakan Majlis Maulud itu bukan sahaja didapati oleh orang yang mengadakan majlis itu, tetapi seluruh ahli rumah atau orang yang tinggal di tempat itu turut mendapat keberkatannya.
KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW
Muhammad telah dilahirkan di tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Ia sungguh menyedihkan hatinya sehingga beliau kerapkali ke Gua Hira, sebuah gua bukit dekat Makkah, yang kemudian dikenali sebgai Jabal An Nur untuk memikirkan cara untuk mengatasi gejala yang dihadapi masyarakatnya. Di sinilah baginda sering berfikir dengan mendalam, memohon kepada Allah supaya memusnahkan kedurjanaan yang kian berleluasa.
Pada suatu malam, ketika baginda sedang bertafakur di Gua Hira, Malaikat Jibril mendatangi Muhammad. Jibril membangkitkannya dan menyampaikan wahyu Allah di telinganya. Baginda diminta membaca. Baginda menjawab, "Saya tidak tahu membaca". Jibril mengulangi tiga kali meminta Muhammad untuk membaca tetapi jawapan baginda tetap sama. Akhirnya, Jibril berkata:
Majlis Ta'lim Al - Ghoniyah
Jl. Cipinang Jaya Blok AA Rt010/008 No.8
Kampung Besar Jatinegara Jakarta Timur
Telp. 083879595743
Nabi Muhammad s.a.w.
Muhammad bin Abdullah (Arab/Jawi: محمد بن عبد الله; disebut [mʊħɑmmæd] merupakan nabi dan rasul yang terakhir bagi umat Islam Lebih dikenali sebagai Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam (Arab/Jawi: نبي محمد صلى الله عليه وسلم), baginda juga adalah pemimpin yang menyatukan Semenanjung Arab kepada satu tatanegara di bawah pemerintahan Islam.[3] Muhammad dianggap oleh umat Islam sebagai pemulih keimanan monoteistik ajaran nabi-nabi terdahulu yang dibawa oleh Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain.[4][5][6][7]Dilahirkan di Makkah, Semenanjung Arab,[8][9] baginda adalah anak yatim piatu sejak kecil lagi dimana baginda dijaga oleh datuknya, Abdul Muttalib bin Hasyim dan seterusnya bapa saudara baginda, Abu Talib bin Abdul Muttalib. Baginda juga pernah bekerja sebagai pengembala kambing dan saudagar serta perkahwinan pertamanya adalah ketika berusia 25 tahun dimana baginda telah bernikah dengan Khadijah binti Khuwailid (40 tahun). Ketika Muhammad berumur 40 tahun, baginda telah menerima wahyu yang pertama daripada Tuhan melalui malaikat Jibril ketika sedang berada di Gua Hira. Tiga tahun setelah kejadian itu, baginda mula berdakwah secara terbuka kepada penduduk Makkah dengan mengatakan "Tuhan itu Esa" dan hendaklah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah (secara harfiahnya membawa maksud Islam) dan ia adalah satu cara hidup (الدين ad-Din) yang diterima Allah sahaja.
Muhammad menerima beberapa orang pengikut pada awalnya yang terdiri daripada pelbagai golongan. Ajaran yang dibawa oleh baginda mendapat tentangan yang hebat dalam kalangan penduduk Makkah malahan mereka dilayan dengan teruk dan zalim. Oleh itu, Muhammad telah menghantar beberapa orang pengikutnya ke Habsyah pada 614 M sebelum baginda dan pengikutnya lain di Makkah berhijrah ke Madinah (dahulu dikenali sebagai Yathrib) pada tahun 622 M. Peristiwa penghijrahan Muhammad itu menandakan permulaan bagi kalendar Islam atau takwim Hijrah. Di Madinah, Muhammad telah menyatukan semua suku kaum dibawah Piagam Madinah. Setelah bersengketa dengan penduduk Makkah selama 8 tahun, baginda membawa 10,000 pengikutnya ke Makkah serta menakluknya. Muhammad dan para pengikutnya telah memusnahkan patung berhala yang terdapat di Makkah.[10] Pada tahun 632 M, beberapa bulan selepas peristiwa Haji Wida atau Haji Perpisahan, Muhammad telah jatuh sakit lalu wafat. Ketika kematiannya, hampir seluruh Semenanjung Arab berada di bawah naungan Islam dan bersatu dengan tatanegara Islam.
Kelahiran
Baginda lahir dari Keturunan Quraisy (Bahasa Arab قريش). Nabi Muhammad telah diputerakan di Makkah, pada hari Isnin, 12 Rabiulawal (20 April 571M). Ibu baginda, iaitu Aminah binti Wahab, adalah anak perempuan kepada Wahab bin Abdul Manaf dari keluarga Zahrah. Ayahnya, Abdullah, ialah anak kepada Abdul Muthalib. Keturunannya bersusur galur dari Nabi Ismail, anak kepada Nabi Ibrahim kira-kira dalam keturunan keempat puluh.Ayahnya telah meninggal sebelum kelahiran baginda. Sementara ibunya meninggal ketika baginda berusia kira-kira enam tahun, menjadikannya seorang anak yatim piatu. Menurut tradisi keluarga atasan Mekah, baginda telah dipelihara oleh seorang ibu angkat(ibu susu:-wanita yang menyusukan baginda) yang bernama Halimahtus Sa'adiah حلمة السعديه di kampung halamannya di pergunungan selama beberapa tahun. Dalam tahun-tahun itu, baginda telah dibawa ke Makkah untuk mengunjungi ibunya. Setelah ibunya meninggal, baginda dijaga oleh datuknya, Abdul Muthalib. Apabila datuknya meninggal, baginda dijaga oleh bapa saudaranya, Abu Talib. Ketika inilah baginda sering kali membantu mengembala kambing-kambing bapa saudaranya di sekitar Mekah dan kerap menemani bapa saudaranya dalam urusan perdagangan ke Syam (Syria).
Sejak kecil, baginda tidak pernah menyembah berhala dan tidak pernah terlibat dengan kehidupan sosial arab jahiliyyah yang merosakkan dan penuh kekufuran
Bapak dan ibu saudara Nabi Muhammad
- Al-Harith bin Abdul Muthalib
- Muqawwam bin Abdul Muthalib
- Zubair bin Abdul Muthalib
- Hamzah bin Abdul Muthalib
- Al-Abbas bin Abdul Muthalib
- Abu Thalib bin Abdul Muthalib
- Abu Lahab bin Abdul Muthalib
- Abdul Kaabah bin Abdul Muthalib
- Hijl bin Abdul Muthalib
- Dzirar bin Abdul Muthalib
- Ghaidaq bin Abdul Muthalib
- Safiyah binti Abdul Muthalib
- 'Atikah binti Abdul Muthalib
- Arwa binti Abdul Muthalib
- Umaimah binti Abdul Muthalib
- Barrah binti Abdul Muthalib
- Ummi Hakim al-Bidha binti Abdul Muthalib
Majlis Ta'lim Al - Ghoniyah
Jl. Cipinang Jaya Blok AA Rt010/008 No.8
Kampung Besar Jatinegara Jakarta Timur
Telp. 083879595743
Posted by majlistalim alqhoniyah a
Subscribe to:
Posts (Atom)